Kamis, 19 Januari 2017

AKU KENAL DIA SEBAGAI SEMAR




Kita mengingat cerita punukawan (abdi) yang bernama Semar bersama anak-anak angkatnya; Petruk, Gareng dan Bagong. Konon, Semar bertugas mengabdi pada manusia “baik” dan membimbingnya tetap pada kebaikan. Di lain tugas, ada saudara Semar yang kita kenal dengan panggilan Togog bersama kawannya yang bernama Bilung. Berkebalikan dengan Semar, Togog mengabdi pada manusia “tidak baik” dan membimbingnya pada kebaikan. Jika ditakar, tugas Togog mungkin lebih berat ketimbang tugas Semar. Mereka tiga bersaudara yakni Togog (Antogo), Semar (Ismoyo) dan Manikmoyo. Sedang Manikmoyo ditugasi memimpin Kahyangan.
Dalam pelbagai cerita, baik Semar maupun Togog menjadi abdi yang juga sekaligus guru bagi masing-masing tuan. Rupa mereka bisa dibilang buruk seperti wujud raksasa. Togog digambarkan dengan mulut lebar sedang Semar bertubuh gendut. Konon, mereka demikian akibat mengikuti sayembara yang diadakan bapaknya untuk menelan dan memuntahkan gunung Mahasamun. Togog sebagai yang tertua mengawali sayembara dan gunung Mahasamun meletus di mulutnya. Itulah kenapa mulut Togog digambarkan sangat lebar. Sedang Semar, berhasil menelannya tapi tak berhasil mengeluarkan kembali. Gunung Mahasamun tersimpan dalam perutnya. Oleh karena itu Semar digambarkan bertubuh gendut. Mahasamun ternyata gunung perwujudan dari sikap keserakahan. Secara tidak langsung, mereka telah belajar ilmu keserakahan dan ditugasi turun ke Arcopodo (dunia manusia) sebagai pembimbing.
Banyak kata-kata mereka kemudian menjadi pedoman bagi manusia Jawa dalam menjalani kehidupan. Mereka adalah sosok yang tidak dimiliki manusia India meski kita (nusantara) dan India punya cerita yang hampir sama baik Ramayana maupun Mahabarata. Hal ini sangat tidak aneh, mengingat Nusantara dan India pernah dalam satu wilayah dengan nama Jawa Dwipa (Nusantara) dan Jambu Dwipa (India).

Keberadaan sosok Semar menjadi perdebatan yang menarik bagi penikmat sejarah maupun spiritual. Jika ada di mana iya berada. Jika tiada kenapa ia begitu nyata diperbincangkan di mana-mana. Di satu pendapat, Semar dikatakan tiada. Ia hanyalah perwujudan dari jiwa yang bijaksana yang didongengkan dengan begitu baiknya seperti lakon Gatoloco yang sebenarnya tak ada wujudnya. Di pendapat lainnya, ia dikatakan ada dan berwujud layaknya manusia normal hanya saja dengan gambaran gendut. Ia bisa dilacak di pelbagai cerita. Bukti lainnya ialah adanya petilasan-petilasannya. Salah satunya Petilasan Eyang Semar di Pos III pendakian Gunung Arjuno.
Dalam naskah kuno pun ia masih bisa dilacak seperti dalam Darmogandul. Pengakuan Sabda Palon bahwa jati dirinya adalah pemomong raja-raja di Jawa dan telah berusia 2000 tahun lebih juga nama lain dirinya adalah Semar. Sabda Palon adalah abdi Brawijaya V yang kemudian memisahkan diri dan memilih moksa lantaran anak asuhnya berpindah agama dari Siwa Buddha ke Islam.
Semar seringkali dikaitkan dengan istilah guru sejati lantaran selalu membimbing tuannya. Guru sejati adalah guru yang ada di dalam diri. Ia dikaitkan dengan Nur Muhammad atau Roh Kudus. Dengan kata lain, ia adalah percikan sang ilahi yang tak lain bagian dari sang ilahi itu sendiri. Maka, dalam keyakinan ajaran Jawa, Surga ataupun Neraka bukanlah alamat benar untuk kembali sebab asal kita bukan dari sana melainkan dari Sang Ilahi. Mengetahui asal adalah cara memahami jalan kembali. Dalam istilah Islam, Nur Muhammad bisa dikatakan sebagai rembulan dan Allah adalah Matahari yakni sumber segala cahaya. Sayangnya, banyak manusia yang takjub pada rembulan dan enggan meneruskan perjalannya sampai pada matahari. Cahaya terang pada dirinya langsung disembah sebagai Allah. Padahal seperti cerita Musa, ia tak kuat melihat cahaya Allah bahkan Turisina pun hancur lebur olehnya.
Terlepas dari semua pembahasan; ada atau tiadanya Semar ataupun adakah Semar adalah Nur Muhammad dalam ajaran Islam dan Roh Kudus dalam ajaran Nasrani, kita mesti mengingat bahwa bahasa sangatlah luas. Di daerah kita mungkin kotoran disebut sebagai tai, di daerah lain bisa saja disebut tokai. Olehnya, tak usah kita sibuk memperdebatkan bahasa, lebih baik kita sibuk memahami ajaran masing-masing. Toh semua ajaran mengajarkan kebaikan dan tentu perdamaian. Memahami ajaran adalah memahami bahasa masing-masing ajaran. Hal ini perlu ekstra kehati-hatian sebab KEBENARAN BISA SAJA MENIPU seperti cerita Ibrahim dan patung yang dihancurkannya.
Akhirnya, selamat menunaikan ibadah ngaji; ngarah marang kang siji (mengarah pada yang Satu)!

Sabtu, 14 Januari 2017

BUAH KULDI: INGATAN DAN PERINGATAN




Kita pernah mendengar cerita apik saat Hawa dan Adam memakan buah bernama Kuldi. Lalu diturunkan dari surga di mana ia bahagia. Konon, sepasang kekasih tersebut melanggar perjanjian dengan Tuhan lantaran terayu bujukan Iblis untuk memakan buah Kuldi. Kita sebagai anak cucu Adam, mungkin pernah mempertanyakan buah macam apa yang disebut Kuldi tersebut. Penafsir-penafsir menyajikan tawaran ide dalam kitab-kitabnya. Ada yang menyebutnya sebagai anggur dengan alasan memabukkan. Ada pula yang dengan bijaknya berpendapat bahwa buah itu hanya ada di surga pun tak bisa dijelaskan gambarannya. Artinya, kita tak pernah benar-benar memahami apa itu buah Kuldi. Kita pun enggan memaksakan pemahaman karena berhubungan dengan surga dan terlanjur percaya bahwa surga adanya setelah mati. Sedang kita, selalu saja takut mati.
Aku pun enggan mau bersusah melacak, apa itu buah Kuldi demi kepuasan pemahaman para pecinta dongeng. Sejauh ini, aku meyakini bahwa buah Kuldi itu bukanlah buah tapi simbolisasi. Di situlah, nilai sastra kitab suci. Tak gamblang menyebutkan. Selalu saja menjadi misteri yang menyajikan teka-teki. Kita sebagai manusia, mesti berani menguaknya sebab Tuhan memberi kita akal untuk berpikir. Berapa ayat yang menyindir kengangguran akal kita. Afala takkiluun (adakah kalian berakal)”. Afala tafakkaruun (adakah kalian berfikir). Lain cerita dengan malaikat, mereka tak diberi kesempatan untuk berpikir. Dengan kalimat tembakan, Tuhan berkata “ana aklamu maalaa tak lamuun (aku lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui)”
Bagiku, jika kitab suci dipahami secara gamblang, ia akan menjadi kumpulan dongeng. Sangat menarik memang. Dan jika ia dipahami secara dalam, ia akan menjadi kumpulan pengetahuan. Sangat membingungkan memang.
Perlu diingat bahwa Islam adalah segitiga keselamatan dengan sisi sama antara alqur’an dan hadist. Jika alqur’an dipahami sebagai kumpulan dongeng, maka sisi ini akan pincang. Tak sepanjang hadist sebagai sisi akhlak. Akan kucoba gambarkan yang kumaksud dengan segitiga keselamatan:



Coba pikirkan, apa yang terjadi jika sisi literasi itu berganti dengan dongeng? Pincang, bukan? Memang menarik pemikiran Gus Dur yang terkesan prular “Selama kita berbuat baik, orang tidak akan menanyakan apa agama kita”. Senada dengannya, penyair yang suka memakai bahasa anak-anak, Joko Pinurbo pun menuliskan “Saat aku berdoa, Tuhan tidak pernah bertanya apa agamaku.”
Kalau boleh berpendapat, semua itulah yang disebut buah Kuldi yakni buah pengetahuan. Saat kita memakannya (pengetahuan) kita bakal menyadari bahwa kita punya tugas hidup dari Tuhan sebagai khalifah-nya di bumi. Maka, kita dengan kesadaran penuh akan meninggalkan surga (kebahagiaan) dan melakukan laku prihatin yang mana kata Pramoedya Ananta Toer bahwa hidup ini seimbang dan jika hanya ingin bahagia, itu pemikiran yang gila. Bukankah Tuhan Mahaadil? Kebahagiaan dan penderitaan harusnya seimbang.
Di Jawa, buah Kuldi dikenal dengan sebutan buah Budi. Ada seorang petani bernama Sabda Palon yang sudah menanam pohon Budi di perut Merapi selama 500 tahun. Sudah sekian tahun yang lalu, ia panen. Sekarang, ia sedang berjalan menyusuri Nusantara dengan maksud menyebar dan membagi buah Budi hasil panennya. Menerimanya adalah sama halnya dengan menerima pengetahuan. Menolaknya adalah sama halnya menolak pengetahuan juga sekaligus mengundang kematian. Selamat menentukan pilihan.*







*semua ini ditulis dengan separuh kesadaran, jadi jangan percaya berlebihan.