Senin, 20 Juli 2015

LEBARAN PEMUDA KOTAKU


“Pemuda adalah sebaik-baik tempat untuk menanamkan cita-cita”
-M. Yamin

Setelah shalat magrib, tepatnya setelah diumumkannya lebaran, kesibukkan nampak di mana-mana. Di kampungku, nampak bocah-bocah sibuk menyiapkan obor untuk “Takbir Keliling” yang akan dimulai setelah shalat isya’. Juga bocah-bocah bermain petasan di lapangan atau pematang sawah. Tapi aku meragukan kalau ramainya petasan tersebut sebagai perayaan hari kemenangan, Idul Fitri. Sedang pemuda yang tergabung sebagai Remaja Masjid (Remas) nampak sibuk menyiapkan apa yang dibutuhkan untuk “Takbir Keliling”. Di sisi lain dari semua itu, pemuda-pemuda semacamku lebih memilih menjauh dari keramaian desa. Bukan kami tidak suka keramaian. Kami hanya ingin keramaian yang lebih ramai, maka dari itu kami beramai-ramai ke kota. Dari gambaran di atas, tentu bisa dipahami keramaian apa yang akan terjadi di desa kami. Mari bayangkan. Jangan, tentunya klise sekali. Berkeliling kampung membawa obor dengan menggemakan takbir.
Di sana, yang kami sebut sebagai kota, akan ada sebuah keramaian yang nyata. Akan terdengar suara yang mengagetkan, tetapi bukan petasan. Suara senapan polisi untuk membubarkan tawuran. Akan terjadi pula semacam konvoi, bukan karena “Takbir Keliling” melainkan dikejar Satpol PP. Dan akan terjadi pemukulan pula tetapi bukan pemukulan jidor. Pemukulan antarpemuda dalam sebuah tawuran. Semua itu bermula dari awal lebaran, setelah magrib. Pemuda-pemuda akan berkumpul di beberapa titik keramaian kota. Salah satunya adalah Taman pinang–Gading Fajar, taman kota yang diapit dua jalan panjang. Di sana akan berjajar pemuda dengan motornya, yang sebagian knalpotnya dimodif sedemikian rupa agar semakin keras bunyinya. Yang nantinya akan saling mencari perkara satu sama lainnya demi sebuah kata keren atau memang dendam. Perlu diketahui bahwa di kotaku, Sidoarjo, sering terjadi tawuran antarpemudakampung, antarpendukungkesebelasan, dan antargengmotor. Maka tempat semacam itu akan menjadi titik pertemuan dan pecahnya tawuran.
Tentunya aku tak mau ikut tawuran semacam itu. Aku tak sefanatik mereka. Aku tak tahu pasti penyebab mereka fanatik. Barangkali mereka terdoktrin Multatuli dalam garapannya, Max Haveelar (2013), yang mengatakan “Setengah-setengah itu tidak akan mengahsilkan apa-apa. Setengah itu tidak baik. Setengah benar sama saja dengan tidak benar”. Tapi kurasa bukan itu penyebabnya. Atau sebab perkataan R.A. Kartini “Pikiran adalah puisi dan penggeraknya adalah seni” sehingga mereka definisikan tawuran sebagai seni bela diri. Dan akhirnya muncul propaganda semacam itu. Tapi kurasa bukan itu pula penyebabnya karena sedikit sekali dari mereka yang mengobrolkan buku saat berkumpul atau bahkan nihil.
Semua itu hanya nostalgia masa putih abu-abuku. Semenjak lulus SMA, aku berpaling dari dunia semacam itu ke dunia “perdamaian”. Aku menjadi seorang anak vespa, Scooterist, dan tak lagi mampu menikmati tawuran semacam itu. Bukan karena tawurannya tidak sehebat perang saudara antara Kurawa dan Pandawa dalam etos Mahabarata. Perang yang berlangsung ratusan hari, perang yang meminum ribuan atau jutaan darah manusia, perang anatara lima Pandawa yang didalangi Krisna dan menang melawan seratus Kurawa yang didalangi Sangkuni, juga perang bersenjatakan senjata para dewa, tentulah tak sebanding dengan tawuran di kotaku. Tawuran yang bersenjatakan batu dan kayu dengan pelindung kepala berupa helm.
Selanjutnya, lebaran ditemani oleh secangkir kopi entah di bengkel vespa atau di warung kopi. Tapi jangan dibayangkan kami meminum kopi spesial di hari spesial semacam itu. Hanya kopi hitam seperti biasa. Tidak ada bermacam-macam kopi buatan Dee dalam karyanya, Filosofi Kopi. Dan tentu tidak ada secarik kertas penjelas kopi yang telah kami minum dari pengaduknya. Waktu pun cepat berlalu, malam telah digusur fajar. Ibuku memasak air sebagai campuran air kamar mandi agar tak terlalu dingin nantinya. Bergantian, penghuni rumah mandi kemudian shalat subuh. Sekejab, pakaian baru sudah menempel di badan. Ibu menyediakan minuman hangat seperti teh manis dan kopi, sebelum kami berangkat ke masjid untuk shalat ‘ied. Konon, “Kalau lebaran sunnah pakai pakaian baru” kata abangku menasehati “tapi kalau jumatan sunnah pakai pakaian putih”. Setelah ritual shalat ‘ied selesai, ada ritual “minta maaf”. Mula-mula meminta maaf kepada kedua orang tua, lalu sanak kelarga, lalu para tetangga. Dan akhirnya, “Ngaturaken sedanten kelepatan kulo, mugi jenengan kerso ngapuro”.

Jumat, 17 Juli 2015

NASIB SEBUAH ESAI


“Mohon maaf untuk esaimu penerbit tak berani menerbitkan” kata dosenku. Konon, esai tersebut terlalu kontroversi, dan bla bla bla. Aku tak melawan, aku mengiyakan dan memaklumi meskipun hanya esaiku di kelas yang tidak mampu diterbitkan dalam sebuah antologi. sebenarnya dosenku sudah menawari untuk membuat lagi tapi aku tak mau karena esaiku ini adalah esai pertamaku yang tentunnya tidak lahir tanpa perjuangan. Inilah esaiku yang kumaksudkan dan kupersembahkan untuk siapa saja. akhirnya, selamat membaca:

CINTA IBLIS KEPADA TUHAN
Malaikat dan iblis adalah makhluk Tuhan yang Mahacinta, wajar jika mereka mempunyai cinta kepada Tuhan yang sangat mereka kenal. Sayangnya cara mereka mencintai Tuhan sangat berbeda yang menyebabkan salah satunya diusir dari surga. Malaikat melakukan apapun yang diperintahkan sekalipun sujud kepada selain-Nya, sedang iblis tak mau sujud kepada selain-Nya atas nama cintanya, sekalipun berujung amarah Tuhan.
Malaikat dikenal sebagai ikon kebaikan karena dikisahkan di beberapa cerita sebagai makhluk Tuhan yang paling patuh karena cintanya. Di dalam Alquran dikisahkan bahwa Tuhan meminta pendapat saat misi pembuatan manusia dan seketika para malaikat menyampaikan pendapat mereka dengan jujur sekalipun pendapat negatif. Kemudian mereka diam dan menerima keputusan Tuhan sekalipun dengan alasan yang tidak memuaskan “Aku lebih tahu apa yang tidak kalian tahu”. Dan saat diperintah sujud kepada Adam pun para malaikat langsung bersujud kecuali iblis yang berpegang teguh pada cintanya yang tak mau menduakan Tuhan. Hampir di semua buku sependapat kalau malaikat adalah makhluk Tuhan yang sangat patuh, jadi tak perlu rasanya menjabarkan lebih dalam tentang cinta malaikat kepada Tuhan.
Iblis dikenal sebagai pembangkang dan tidak mau bersujud pada Adam karena kesombongannya, padahal iblis hanya jadi korban atas cintanya sendiri kepada Tuhan. Di dalam buku Iblis Menggugat Tuhan yang diterjemahkan oleh Bima Sudiarto dan Elka Ferani itu menceritakan kalau iblis berkata bahwa sekalipun dia berdosa maka dosanya tak akan mampu melukai hati Tuhan kecuali hatinya sendiri. Di dalam buku tersebut juga tertulis “iblis memotong ceritanya sejenak, menepuk-nepuk dadanya yang besar dan bidang. ‘Nah aku adalah orang yang setia pada kesejatian perintah yang sesungguhnya, bahkan jika harus tampak seolah-olah membangkang’.” (2007, hal 63), yang artinya iblis berpegang teguh pada perintah awal “tauhid” yang mana memerintahkan hanya boleh sujud kepada Tuhan semata dan atas cintanya dia rela diklaim sebagai pembangkang. Juga di sampul belakang tertulis “aku menyembah Allah selama 700 ribu tahun! Tak ada tempat tersisa dilangit dan bumi di mana aku tak menyembah-Nya. Setiap hari aku berkata pada-Nya, ‘Ya Allah, anak keturunan Adam menolak-Mu, namun Engkau tetap bermurah hati dan meninggikan mereka. Tapi aku, yang mencintai dan memuja-Mu dengan pemujaan yang benar, Engkau buat menjadi hina dan buruk rupa.’.” Bahkan Iblis mengatakan kalau memang benar Adam berdosa atas hasutannya, lalu siapa yang menghasutnya untuk berbuat dosa dan sebenarnya dia hanya melakukan apa yang diperintahkan Tuhan.
Cinta adalah anugerah Tuhan yang Mahakuasa. Malaikat mampu menjadi ikon kebaikan karena cinta dan iblis pun mampu menjadi ikon kejahatan karena cinta. Maka sudah seharusnya kita lebih waspada dengan yang namanya cinta.

Kelebihan kita sebagai manusia yang tidak dimiliki Tuhan adalah sebuah “harapan”. Jika Tuhan punya harapan, maka siapa yang menentukan nasib harapan Tuhan. Di lain semua itu, Tuhan punya “keputusan”. Semua boleh berharap bahkan berdoa dengan memaksa Tuhan, tetapi ingat Tuhan pemilik segala keputusan. Dan selalu Mahaadil atas setiap keputusan-Nya.