Sabtu, 12 Agustus 2017

Tuhan Mahasiswa


Seluruh jagat manusia percaya bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang sempurna. Satu-satunya pemilik segala maha, kecuali mahasiswa. Barangkali, tidak hanya di mata Tuhan, mahasiswa adalah produk “maha” yang gagal. Tidak memiliki riwayat yang ilahiah sama sekali. Saya tidak bermaksud menyinggung mahasiswa terdahulu yang barangkali memiliki banyak riwayat heroik seperti Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Soe Hok Gie, B.J. Habibie, yang begitu tekun menjalankan perintah Tuhan yang pertama “ikrok”. Riwayat berbuku mereka tak pernah disangsikan sejarah. Tapi, mereka tak semerta-merta menamai diri “Mahasiswa”.
 
Saya semenjak kecil memandang status mahasiswa sebagai status yang aduhai begitu mulia. Mahasiswa memasuki segala lingkup tatanan, mulai dari pers yang bertugas mengawal jalannya pemerintah maka muncul yang namanya pers mahasiswa sampai aktivis perburuhan. Dan saya, kemudian bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fenomena. Barulah saya sadar, tak semua mahasiswa tekun berbuku dan giat sinau. Ada mahasiswa yang menghabiskan sekian banyak waktunya dengan diam. Sayangnya bukan semedi atau meditasi sebagai laku menjernihkan nurani. Diamnya mahasiswa justru sebagai korban teknologi yakni menjadi budak gawai. Dunianya sebesar layar lima inchi dan bertubuh pada dua jempol saja. Menyedihkan.
Jadilah segala perkara sesegera mungkin dikomentari, segala kasus secepat mungkin diluruskan (versi masing-masing mahasiswa), dan segala kenyataan diabaikan dengan kemayaan. Ironis, tetapi memang seperti itu. Akhirnya, mahasiswa cenderung terjebak untuk mengkasuskan manusia dan memanusiakan kasus.

Mahasiswa dan Pemerintahan
Orde Lama sebagai pemerintahan pertama pasca-kemerdekaan menjadi catatan penting termasuk dalam dunia kemahasiswaan. Sekian tokoh lahir dari latar belakang mahasiswa. Masyarakat pun semakin mendambakan anaknya bisa seperti Gie misalnya, begitu aktif mengawal kebijakan pada pemerintahan Presiden Soekarno. Riwayat demonstrasi Gie diabadikan Riri Riza dalam sebuah film Gie (2005). Memang terbilang heroik riwayat demonstrasi Gie. Kita tahu bahwa beberapa mahasiswa yang berdiri di barisan terdepan dalam demonstrasi justru kerap mendapat jatah kursi “diam” di parlemen. Berbeda dengan Gie, saat kebanyakan temannya memilih menjadi anggota dewan, Gie justru memilih berliterasi dengan semesta raya. Ia pun mati di pangkuan gunung Semeru, Jawa Timur.

sumber gambar: www.selasar.com


Bisa dikatakan mahasiswa – pada masa itu – memilik peran penting dalam pemerintahan yang barusaja menyebut diri negeri demokrasi. Mahasiswa kerap turun ke jalan untuk menyuarakan kritik atas kebijakan-kebijakan. Tetapi justru posisi penting mahasiswa menjadi sasaran propaganda. Isu-isu mulai bermunculan dan tak terkendali. Kita tahu Presiden Soekarno menjadi ancaman bagi negara-negara Barat atas ketegasannya dalam setiap pengambilan keputusan. Tak heran jika kemudian muncul pelbagai kelompok yang menginginkan Soekarno segera dilengserkan. Aliran dana pun begitu deras mengalir pada kelompok-kelompok “makar” tersebut.

Pelbagai ujicoba pembunuhan pada Soekarno pun tercatat sejarah. Tetapi Soekarno bukan sembarangan orang, ia pelaku spiritual. Ia pun pernah bertapa di Candi Wesi di lereng Gunung Arjuna. Dan kita tahu, pelaku spiritual kerap mendapat bimbingan dari Guru Sejati (Gusti). Pun kerap eling lan waspodo seperti ajaran Ronggowarsito. Kemudian kita ingat, tak ada manusia yang sempurna. Begitu paradoks memang kehidupan dunia. Soekarno pun jatuh, ditandai dengan selembar Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dan disambut dengan tragedi 65 atas pembantaian PKI termasuk Gerwani. 

Mahasiswa bergerak cepat untuk menurunkan Soekarno dengan pelbagai dalih dan dalil kegagalan pemerintah. Soeharto yang gagah di mata mahasiswa pun menjadi pengganti Soekarno untuk melangsungkan pemerintahan. Mahasiswa tak sadar bahwa kelak pemerintahan Soeharto menjadi pemerintahan tirani yang menakutkan. Riwayat hilang dan kematian aktivis mahsiswa juga buruh tak terhitung. Mereka pun sadar bertapa Soekarno sangat menghormati Perguruan Tinggi dan melarang militer dengan semena-mena memasukinya. Hal ini berlawanan dengan masa Orde Baru di mana militer sampai berani membawa tank memasuki gerbang Perguruan Tinggi ataupun sekedar menciduk mahasiswa.

Orde Baru begitu ketat mengawasi masyarakatnya. Pers pun hampir tak berkutik. Sekian media dibredel seperti halnya Koran Indonesia Raya milik Muchtar Lubis karena begitu aktif mengkritiki kebijakan mahasiswa. Misal pada kebijakan larangan rambut gondrong karena memicu kriminalitas. Indonesia Raya menyajikan fakta bahwa justru manusia rapi, berdasi, dan wangi yang kerap korupsi.

Mentalitas Orba
Dan begitulah watak manusia, semakin dilarang semakin tertantang. Orde Baru pun tak berhasil mendiamkan mahasiswa dan buruh walau tembang kematian berdendang begitu keras. Alhasil, umur Orde Baru hanya 32 tahun. Soeharto berhasil dilengserkan. Lagu Buruh Tani dinyanyikan dengan begitu bahagia. Mahasiswa seolah berhasil membalas “kesalahannya” atas pelengseran Orde Lama. Ternyata, mentalitas Orde Baru tak begitu saja hilang. Karakter yang ditanamkan selama sekian puluh tahun sangat membekas pada tatanan pemerintahan kita. Korupsi masih begitu genit untuk diabaikan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitu kualahan menghapus kegenitan tersebut. Sedang kita, mahasiswa, masih disibukkan dengan tugas-tugas kampus agar tak … ah sudahlah. Kita begitu sibuk. Jangankan mengurusi pemerintahan, membaca buku (non pelajaran) saja mungkin tak sempat. Akhirnya kita alpa sejarah.