Kamis, 07 September 2017

TIGA BUKU PUISI SAYA




Beberapa tahun lalu, saya mengikuti pelatihan menulis di Pare di kediaman guru bahasa saya; Uun Nurcahyanti yang juga direktur lembaga kursus bahasa bernama Smart ILC. Pelatihan dipimpin Bandung Mawardi, pengasuh Jagat Abjad, dari Solo. Di tengah pelatihan, Mas Bandung mengajak membuat “janji literasi”. Peristiwa itu saya abadikan dalam puisi Aku Berjanji (2015):
Dalam lingkaran suci
satu persatu dari kami berjanji
mengabarkan niat dari hati
Aku berjanji
Saya berjanji

Dan sampai padaku, aku berjanji
“Puisi-puisiku, terbit sebelum wisuda”
aku berjanji dan disaksi
(Puisi Suket, 2016)

Janji membawa tubuh saya pada ruang dan waktu pada buku-buku. Kesadaran akan miskin kata membuat saya memaksakan diri untuk tekun berbuku, menyambangi pasar buku, mengobrol dengan manusia buku. Akhirnya, saya sendiri tak menyangka, bisa menerbitkan tiga buku puisi;




Puisi Suket: Kumpulan Suatu Ketika
adalah sekumpulan puisi “sisa-sisa” dari awal belajar puisi yakni tahun 2013. Disebut sisa karena saya telah kehilangan dua laptop di Kota Malang. Maklumlah, kota metropolitan. Buku puisi pertama ini dipersembahkan untuk seorang perempuan yang mengajari saya berbahasa, Uun Nurchyanti.
Satu puisi di sampul belakang adalah Sareh Nada:


Pucuk zaman tak kunjung dijumpa
menunggu Sang Empu memberi nada
pengambil nyawa.
Sampai kapan? Entah

Di surga,
Beethoven, Teleman, Mozat, dan Bach
berlatih nada, berlatih irama
            lagu “Sangkakala”



Hening Sunyi
adalah antologi puisi yang saya dapati dari laku berhening. Kata seorang teman, dalam diri ada sabda murni. Dan saya mencob mengenal suara-suara dalam diri yang tentu tak semuanya adalah sabda murni yang suci. Barangkali ada sabda imajinasi, dsb. Buku kedua ini dipersembahkan untuk adik saya yang suka kesunyian, Siti Aisyah.
Satu puisi di sampul belakang adalah Kopi:

Di dalam secangkir kopi
ada air bening
yang jika kita cari
tak ketemu, tanpa hening.

Di dalam secangkir kopi
            ada air bernama nurani.

Omah Suwung
adalah puisi-puisi yang ada dalam sebuah “kesuwungan” saya. Bisa dikatakan puisi-puisi di dalamnya adalah manifestasi dari langkah saya menyusuri dunia spiritual kebatinan yang ternyata ada ruang-ruang ingatan, dugaan, Tuhan, dan tentu saja cinta. Oleh karenanya di dalam buku tertulis “bukan sebuah persembahan melainkan persembahyangan”.
Puisi di sampul belakang adalah Ingatan:

Sekian detik setelah aku
dilahirkan, aku menjerit meminta
kembali dirahimkan, sayangnya ibuku
tak paham bahasa
tangisan. Lalu aku diam dan diam—
diam merahasiakannya
            sampai sekarang.


Ah, kesemuanya itu hanya menurut pandangan saya dan tentu buku yang sama bakal memiliki pandangan lain dari mata yang berbeda. Seperti keyakinan saya, kata milik penulis tetapi makna milik pembaca.

Terima kasih atas segala doa dan restu atas penerbitan buku-buku (!)