Sabtu, 04 Februari 2017

BELA SUNGKAWA PADA SASTRA (EPISODE ISTIRAHATLAH KATA-KATA)




Mungkin aku beruntung, menjadi mahasiswa di Kota Malang yang konon atmosfer pergerakannya terbilang baik. Hal ini pun dibuktikan dengan mampunya aktivis di Malang “mendatangkan” Wiji Thukul melalui film tentang dirinya; Istirahatlah Kata-Kata. Padahal Malang tidak terdaftar dalam urutan kota pemutara film. Perang media dilakukan aktivis Malang untuk “memaksa” pemutaran dengan bergerilya pada grup-grup aktivis untuk melakukan ledakan di twitter yang menjadi media utama Istirahatlah Kata-kata. Akhirnya, Malang terpilih dan memberikan kejutan kedua yakni dalam kurun waktu 24 jam tiket terjual habis sebanyak 861 yang awalnya dijadwalkan hanya satu ruang bioskop pun terpaksa menjadi lima ruang. Faktanya, aku kurang beruntung dengan tidak kebagiannya tiket satu kursipun. Nafsukupun harus diistirahatkan.
Ledakan lain yang dilakukan aktivis Malang adalah mengadakan Sarasehan Budaya “Wiji Thukul Kemana Sang Penyair Kerakyatan?” di Warung Kalimetro pada Jumat (03/02). Panitia mengaku terkejut dengan hadirnya peserta yang di luar dugaan, sehingga banyak yang harus rela berdiri untuk tetap mengikuti Sarasehan.

Ingatan
Sosok Wiji Thukul di Malang tidak begitu asing sebab di tahun 1995 Wiji membacakan puisi di Aula Usman Mansyur Universitas Islam Malang (Unisma). Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena mengabadikan kehadiran Wiji Thukul dengan melakukan wawancara dan menerbitkannya di Majalah LPM Fenomena edisi V tahun 1995. Mengenai isi tulisan, bisa menghubungi LPM Fenomena FKIP Unisma atau mengintipnya di web lpmfenomenaunisma.com yang jelas Wiji sempat bertanya pada LPM Fenomena dan meminta jawaban berupa tulisan “Kata teman saya, LPM Fenomena apolitis. Tolong dijawab dengan tulisan”. Kurang lebih begitu kalimat Wiji saat itu.
Aku sempat mengobrol dengan Mas Mamak yakni alumni LPM Fenomena sekaligus mahasiswa Unisma yang nekad mendatangkan Wiji di tahun 1995. Sebenarnya, kedatanganku ke rumahnya untuk mencari sejarah LPM Fenomena tetapi akupun dapat bonus cerita tentang Wiji Thukul. Konon, proposal acaranya ditolak dekanat FKIP Unisma karena nama Wiji Thukul masa itu sudah mulai “berbahaya” tetapi Mamak terus memaksa. Pihak dekanat tidak mau membiayainya, akhirnya Mamak meminta izin acara, mengenai biaya dia akan mencari sendiri. Mahasiswa yang dari dulu sampai sekarang berambut gondrong tersebut akhirnya berangkat ke Solo bersama satu temannya untuk mencari rumah Wiji dengan berbekal alamat sekadarnya. Singkat cerita, tubuh dan pikiran seorang Wiji hadir di Unisma. Puisi-puisi dibacakannya di Aula yang sampai sekarang masih menjadi tempat favorit aktivis Unisma untuk menggelar acara.
Aku sedang berkordinasi dengan pengurus LPM Fenomena yang sekarang untuk mau mengagendakan sarasehan budaya di Unisma dengan mendatangkan Mamak untuk menceritakan perjalanannya mengundang Wiji ke Unisma dan apa yang diobrolkan saat itu agar cerita kedatangan Wiji tak lekas menjadi misteri seperti hilangnya penyair tersebut. Respon baik diberikan pengurus LPM Fenomena, kita tinggal berdoa akan hari tersebut.

sumber: www.21cineplex.com
Sarasehan Budaya
Gunawan Maryanto selaku pemeran Wiji Thukul dalam Istirahatlah Kata-Kata berbagi gelisah pada sarasehan Jumat kemarin. Ia mengakui kegelisahannya saat ditawari memerankan sosok Wiji. Butuh berhari-hari untuk sekedar menyampaikan keputusan antara mau dan tidak mau. Gelisah lainnya adalah saat pertama kali film tersebut diputar dan ditonton keluarga Wiji yakni istri dan anak-anknya. Pelbagai pertanyaan muncul, adakah film tersebut bakal membuka luka lama? Adakah keluarga bisa menerima caranya menjadi Wiji dalam film tersebut? dsb.
Selain Gunawan Maryanto, sarasehan tersebut dihadiri sederet nama-nama sebagai pembicara seperti Melati Noer Fajri (Pegiat Anak Singa Film), Permata Ariani (Pegiat Komunitas Kalimetro), Utomo Bahardjo (Orang tua Bima Petrus, korban penghilangan paksa). Melati berbagi kisah bagaimana perjuangannya mendatangkan film Istirahatlah Kata-Kata di Malang. Permata Aini atau yang disapa Puput menyampaikan perbandingan rezim, adakah rezim sekarang masih takut kata-kata seperti masa Wiji atau sudah kebal. Utomo menyampaikan kisah perjuangannya mengawal kasus hilangnya 13 aktivis di tahun 1998.
Pelbagai pemikiran dihadirkan di sesi diskusi tanya jawab. Ada pula yang menyampaikan undangan untuk hadir di acara Kamisan untuk mengawal kasus Munir oleh aktivis HAM di Malang. Akhirnya, acara ditutup dengan penampilan-penampilan musikalisasi puisi, MC pun mempersilahkan siapa saja untuk membacakan puisi. Sayangnya, tiba-tiba sekian besar peserta membubarkan diri. Padahal, saat itu masih sekitar pukul 17.30 WIB.
Aku sempat gelisah, kenapa tiba-tiba bubar saat sesi puisi. Adakah mereka hanya tertarik diskusi; menyampaikan dan mendengarkan pendapat? Bahkan aku mulai takut, jangan-jangan mereka lebih melihat Wiji Thukul sebagai aktivis daripada penyair. Jika benar, itu celaka. Bagiku, Wiji Thukul itu penyair yang beraksi bukan aktivis puisi. Sebagai penyair, Wiji memiliki intimitas dengan puisi. Tanpa menghadirkan tubuh, Wiji seringkali hadir dalam puisi di pelbagai aksi. Lawan. Kegelisahan lain adalah, sebagian besar yang hadir adalah mahasiswa, lantas bagaimana bisa mereka meninggalkan puisi. Terlepas paham atau tidaknya puisi, mereka adalah manusia yang berproses di universitas yang makna aslinya adalah antologi puisi. Universitas adalah kata serapan dari university yang akar katanya adalah universe yakni gabungan antara uni (sekumpulan) dan verse (saja). Maka, seharusnya, manusia yang ada di dalam universitas menjadi manusia yang paham akan puisi-puisi. Faktanya, universitas miskin puisi. Mahasiswa seringkali membatasi diri dengan puisi.
Barangkali, maksud Wiji akan istirahatlah kata-kata adalah kematian puisi. Manusia tak lagi paham kata-kata atau kita hanya berkata-kata tanpa pernah berbahasa. Berkata dan berbahasa tentu dua hal yang berbeda. Selamat mengistirahatkan kata-kata dan menghidupkan bahasa.  

Kamis, 02 Februari 2017

MEMAHAMI SURAT AYAHNYA AMEL



Terlambat? Tak apalah, aku hanya memberi jeda untuk rindu. Bukankah tepat waktu seringkali menolak rindu? Baiklah kusajikan puisiku saja sebagai sarapan hari ini “SAJA”:
Untung saja kau tak datang tepat waktu, jadi aku masih sempat untuk rindu// Selamat datang// Baru saja, sekitar lima menit yang lalu, aku merindukanmu/
Surat ayahnya Amel. Mungkin kita semua telah mendengar berita surat izin tidak masuk sekolah dikarenakan sakit yang ditulis begitu puitis oleh ayahnya “Amel”. Izinkan aku mengutip penuh bagian isinya:
Alangkah indahnya pagi ini, matahari bersinar terang, burung-burungpun bernyanyi riang.
Bunga-bunga semerbak di taman mewangi dan bermekaran, tapi hanya satu yang terlihat paling indah dan menawan.
Tapi ibarat bunga, ada satu yang layu, yaitu Amel.
Hari ini, Kamis 26 Januari 2017 dia tidak masuk sekolah dikarenakan sakit.
Semoga ibu guru Amel tetap menjadi bunga yang paling indah menawan.

ibu guru dan surat ayahnya Amel (diambil dari Tribunstyle.com)

Sekilas dibaca memang sangat nyeleneh isi suratnya. Tak seperti pada umumnya. Tapi sebab itulah aku mau lebih memahaminya. Bagiku tulisan semacam itulah adalah wujud dari kemerdekaan. Tidak melulu mengikuti hukum kebiasaan. Kita bisa simpulkan bahwa hukum kebiasaan tidak menjamin kebenaran dengan adanya frase “salah kaprah”.

Alangkah indahnya pagi ini, matahari bersinar terang, burung-burungpun bernyanyi riang.
Gambaran pagi disampaikan dengan begitu sederhana. Jika semua itu adalah kenyataan yang ditulis gamblang, maka beruntung sekali keluarga Amel bisa menikmati matahari pagi ditemani ditemani kicau burung di negeri yang semakin padat bangunan ini. Jika semua itu hanyalah metafora, kita bisa menduga kalimat tersebut wujud kenangan historis penulis atau ayahnya Amel di masa lalu yang akrab akan keindahan semacam itu. Bisa pula, penulis menyampaikan pemahaman kata indah yang memiliki intimitas dengan alam yakni matahari dan burung-burung. Hal ini akan menjadi sebuah paradok yang menyindir para penikmat harta bahwa keindahan itu bukan pandangan akan mobil mewah atau rumah megah.
Bunga-bunga semerbak di taman mewangi dan bermekaran, tapi hanya satu yang terlihat paling indah dan menawan.
Bagiku, penulis sangat memahami dunia pendidikan. Terlebih yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara yakni Taman SIswa. Diksi yang dipilih KHD adalah taman bukan rumah ataupun gedung. Maka, penulis memilih memetaforakan siswa dan guru sebagai bunga-bunga dan sekolah sebagai taman. Pembagian bunga pun sudah begitu bagus. Siswa dikelompokkan pada bunga-bunga yang wangi dan mekar. Sedang gurunya, yang tentu sudah melewati masa pemekaran, disebut sebagai yang paling indah dan menawan. Dengan kata lain, siswa masih dalam proses mekar (belajar) dan guru sudah mekar dan menawan (mengajar). Selain itu, frase untuk gurunya bisa diartikan sebagai penghormatan karena boleh saja penulis memetaforakan guru sebagai tukang kebun yang merawat bunga-bunga. Sebenarnya objek “hanya satu” bakal menjadi misteri jika tak diperjelas di akhir surat yakni “ibu gurunya Amel”.
Tapi ibarat bunga, ada satu yang layu, yaitu Amel.
Setelah berbagi keindahan dan pujian-pujian, akhirnya penulis menyuguhkan keprihatinan pada pembaca dengan metafora bunga layu yakni Amel. Di negeri ini, memang akrab dengan basa-basi. Untuk meminjam uang yang sebetulnya membutuhkan waktu dua menit saja, kita bisa habiskan satu jam dengan berbagai cerita basa-basi. Bahkan pada Tuhan Mahatahu saja kita masih berani berbasa-basi dengan segala puji, barulah kita mengajukan sekian permintaan dalam doa-doa.
Hari ini, Kamis 26 Januari 2017 dia tidak masuk sekolah dikarenakan sakit.
Sebagai penjelas kata “layu” penulis memberikan kalimat gamblang tanpa metafora apapun. Inilah inti dari seluruh rangkaian kata dalam surat tersebut. Sebagai yang inti, tentu penulis menghindari ambiguitas demi pemahaman sempurna. Jadi, pembaca tak perlu banyak tafsir untuk memahami satu kalimat inti tersebut.
Semoga ibu guru Amel tetap menjadi bunga yang paling indah menawan.
Bagian isi surat diakhiri oleh doa. Jika dipahami, penulis memiliki tata karma yang menakjubkan. Pujian sebagai pembuka dan doa sebagai penutup. Frase bunga yang indah dan menawan pun dipilih sebagai penjelas kalimat sebelumnya “hanya satu”. Sengaja disamakatakan dengannya agar pembaca tak mengalami safari makna. Juga, sebagai ganti akan kata “layu” agar tak monoton karena maksud doanya adalah agar ibu gurunya Amel tidak layu-tidak sakit. Semoga ibunya Amel tidak memahaminya sebagai modus rayuan tetapi sebuah etika yang mengagumkan.

Akhirnya, semoga kita berani merdeka dalam tulisan. Selamat menulis!