Jumat, 16 September 2016

SEKOLAH DALAM BINGKAI PUISI




Aku seorang pembelajar puisi dan aku sangat menyukai puisi bahkan lebih dari kekasih tetapi aku belum pernah berfikir untuk membingkai sekolah dengan puisi meskipun aku sempat buta saat pertama memasuki sekolah ini, aku buta dan tak mampu melihat apa-apa kecuali puisi saja. Kata guru bahasaku, semesta adalah sekumpulan puisi. Jadi, tak usah heran. Aku ingin berinsyaf dengan menafsiri puisi siswaku (baca: guru kecilku). Puisi ini ditulisnya dalam skala waktu sekian menit saja di sebuah lomba. Aku mencoba menjadi dirinya dan membaca apa saja yang ada di matanya saat berbincang prihal puisi. Maka, begini jadinya.

Vinda dan puisinya
SURGA KEDUAKU
Oleh: Hervinda Suryaning Cahyani

Bunga-bunga indah melukiskan sosokmu
Sang penakluk hati generasi bangsa
SMP Negeri 13 Malang
Namamu terbingkai dalam kata-kata indahku
Takjub syukurku berada dalam pelukanmu

Angin sepoy-sepoy berhembus
Berhembus sejuk menyayat
Jiwa dan raga

Nyanyian cicit cuit si burung kecil
Mengiringi langkah kakiku
Menuju ruang impianku

Taman yang indah …
Lagi tertata rapi
Menjadi symbol makna bagianmu

Air sungai mengalir
Membawa hati ini
Mengikuti arus di mana ia pergi mengarah

Surgaku bersih …
Tanpa kotoran yang memiriskan hati
Surgaku suci …
Tanpa ternodai oleh si profokator hidup
Surga keduaku …
Menjelma menjadi sekolah adiwiyata impianku

“Surga Keduaku” memberikan makna positif dalam pelbagai kajian. Barangkali penulis alias Vinda ingin mengatakan dalam bahasa panjang: Hai pembaca, aku akan bercerita tentang surgaku, di mana aku betah berlama-lama dengan sekian teman, guru dan kebahagiaan. Sengaja kuberi nama kedua, karena surga pertamaku adalah rahim ibuku. Apa kau tak percaya? Maka, apakah kau pernah berfikir kenapa ia disebut sebagai Rahim (nama lain Tuhan) yang bermakna penyanyang.
Bunga-bunga indah melukiskan sosokmu/ Sang penakluk hati generasi bangsa/ SMP Negeri 13 Malang/ Namamu terbingkai dalam kata-kata indahku/ Takjub syukurku berada dalam pelukanmu/
Bunga acapkali menjadi simbol kebahagiaan, maka kita sering dikatakan berbunga-bunga. Pada puisi ini, Vinda memilih bunga sebagai wujud sekolah yang dirasa telah memberinya kebahagiaan. Dugaan tersebut diperkuat kalimat selanjutnya yakni “penakluk hati”. Barangkali, sekolah, maksudku kebahagiaan yang didapati dengan teman sekolahnya, telah berhasil meluluhkan hatinya. Maka, sebagai perwujudan rasa syukurnya, ia membingkai SMP Negeri 13 dengan puisi. Tak heran, jika Vinda merasa mendapati sebuah pelukan yang tentu membuatnya nyaman.
Angin sepoy-sepoy berhembus/ Berhembus sejuk menyayat/ Jiwa dan raga
Setelah membingkai nama sekolahnya dengan puisi, kini Vinda mengupas isi bingkai tersebut dengan melukiskan suasana sekolahnya. Vinda mengabarkan bahwa pepohonan dan bunga-bunga juga rerumputan di sekolah berhasil mengundang angin-angin kecil bermain-main di antara siswa memberikan kesejukan jiwa. Barangkali kepadatan bangunan di rumahnya, hanya memberinya pengap. Begitupun saat perjalanan ke sekolah, berjejalan di dalam angkot dengan penumpang lain tentu tidak memberikan kesejukan. Kuduga, Vinda mengalami episode rindu berlebihan terhadap sejuk sampai ia memilih kata menyayat sebagai kata kerja yang mempertemukan dirinya dengan sejuk. Jiwa dan raganya.
Nyanyian cicit cuit si burung kecil/ Mengiringi langkah kakiku/ Menuju ruang impianku
Pelukisan sekolah dilanjutkan Vinda dengan menghadirkan burung-burung dalam pepohonan. Dengan kata lain, Vinda mengatakan: Hai, lihat kemari, saksiskan bahwa bukan saja aku yang kerasan tetapi burung-burung pun kerasan bahkan bernyanyi ria. Jelas, gambaran Vinda, bahwa dari gerbang sampai kelasnya ada banyak burung yang menyambutnya. Untuk kelas, ia menggunakan frase ruang impian sebab di ruang itu ia mulai mengukir impian-impiannya.
Taman yang indah …/ Lagi tertata rapi/ Menjadi symbol makna bagianmu
Gambaran akan surga pada umumnya seolah mempengaruhi tulisan Vinda, imajinasi akan surga yang penuh taman dan sungai mulai dihadirkan Vinda dalam beberapa kalimat selanjutnya. Tetapi ia tak sekadar membagi imajinasi, ia berkata apa adanya akan sekolahnya yang melingkupi, pertamanan, keindahan, dan kerapian. Vinda meyakinkan pembaca dengan kata “bagianmu” dengan maksud pembaca tak kabur dan berfikir bahwa semua sebatas imajinasi. Aku menduga, jika Ki Hajar Dewantara masih hidup, ia akan memberi senyum terindahnya untuk Vinda dan sekolah. Untuk sekolah karena mau menyediahkan taman, dan untuk Vinda karena mau menanam puisi pada sekolahnya. Begitulah seharunya makna Taman Pendidikan.
Air sungai mengalir/ Membawa hati ini/ Mengikuti arus di mana ia pergi mengarah
Sungai kecil di dalam sekolahnya pun dihadirkan dalam kalimat puitis. Bahwa aliran sungainya telah membawa serta hatinya mengalir pada arah di depannya. Barangkali Vinda telah sepenuh hati kerasan dengan sekolahnya dan tak begitu peduli takdir bakal menjadikannya apa, baginya yang perlu dipedulikan adalah ia masih bisa sekolah dan bertemu teman-teman untuk bertukar kebahagiaan.
Surgaku bersih …/ Tanpa kotoran yang memiriskan hati/ Surgaku suci …/ Tanpa ternodai oleh si profokator hidup/ Surga keduaku …/ Menjelma menjadi sekolah adiwiyata impianku
Kata surga kembali dihadirkan sebagai penutup puisi. Di sini, penulis memberikan tafsiran-tafsiran kecil tentang bersih dan suci. Barangkali penulis takut pembaca mengalami safari makna yang jauh dari yang dimaksudkan penulis. Bahwa bersih adalah tanpa kotoran yang memiriskan hati dan suci adalah yang tak ternodai oleh profokator hidup. Sejujurnya, aku gagal meyakini pemahamanku akan “profokator hidup” karena frase itu lebih bisa dipahami sebagai Tuhan tetapi tidak untuk kalimat ini. Maka, biarkan saja ia tetap sebagai profokator hidup karena terkadang kata-kata akan semakin hilang maknanya jika dipaksakan ditafsiri dengan kata lain.

Rabu, 14 September 2016

AKU: SEORANG MISKIN




Saat ditanya, apa yang ingin kupinta sebagai kenang-kenangan, aku seringkali meminta kata-kata. Ya, hanya kata-kata. Terkesan sederhana dan sangat murah tapi tak semuanya ikhlas memberinya. Tapi ikhlas tidaknya hanya penilaianku terhadap kata-kata yang diberikan padaku. Faktanya, aku sekedar manusia yang tak boleh sok tahu karena hanya Tuhan Yang Mahatahu. Jadi, mari anggap saja semuanya ikhlas-iklas saja.
Aku teringat saat semua meminta tanda tangan Najwa Shihab dan berfoto, aku katakana “Mbak Nana, aku tak meminta foto bersama, hanya kata-kata saja”. Lalu Mbak Nana menuliskan “Untuk Kancil semoga berani bermimpi dan berkarya untuk negeri”. Aku memang merasa miskin kata-kata jadi aku suka ngobrol mencari kata-kata. Aku mencoba menjadikan diriku sebagai terminal kata; keluar-masuk kata-kata.
Hari ini, sesuai jadwal PPL, mengajar terakhir di kelas 7B. Sebagai seorang miskin, aku tak usah malu meminta kata-kata. Kesan, pesan, dan kritikan dituliskan siswaku yang juga guruku. Memang niat awalku adalah berguru bukan menggurui. Berguru pada siswa-siswaku. Maka, jika aku gagal memahami mereka, aku tak boleh marah-marah dan menyalahkan mereka. Mestinya, aku marah pada diriku sendiri. Perlu kuingat, bahwa dunia anak-anak adalah dunia imajinasi, dunia yang sangat jujur.
Pesan guru bahasaku, aku mesti siap-siap sebab anak-anak acapkali memberi kejutan. Dan aku sudah akrab dengan pelbagai kejutan bahkan aku selalu merindukan kejutan yang lainnya. Kau tahu, ada seorang guru yang berperan sebagai malaikat, lalu siswanya disuruh izin masuk surga. Ada seorang anak yang berjalan seolah-olah bawa cangkul dan berkata “Aku seorang petani baik, bolehkah aku masuk surga?” ada lagi yang mencoba masuk “Aku guru baik bolehkah aku masuk surge?”. Lalu, seorang anak melinting kertas seolah-olah rokok dan berjalan nyelodor tanpa berkata pada gurunya yang berperan sebagai malaikat. Maka, ditanyalah si anak tersebut “Hei, kau jadi apa kok tidak meminta izin masuk surga?”. Dengan sangat santai dan polos, si anak menjawab “Loh kenapa aku mesti meminta izin, aku kan jadi Tuhan?”. Sang guru pun sangat terkejut dan terkagum-kagum dengan imajinasi anak-anak. Begitu pun denganku.
Maka, dengan tulisan ini, aku menyempatkan diri mengucapkan terima kasih pada semua teman-teman siswa yang telah bersedekah kata dan menjadi guruku dalam dua bulan terakhir. Pesanku, jangan takut berimajinasi, Einstein lebih suka berimajinasi daripada menghafal pelajaran sekolah. Tetapi kalian tak perlu menjadi Einstein. Menjadi ilmuan memang baik, tetapi lebih baik menjadi diri sendiri; mengenal diri sendiri seutuhnya.
PERCAYALAH, LAIN KALI KITA PASTI BERTEMU ENTAH DI LAIN WAKTU ATAU PUN DI LAIN RINDU.

Minggu, 11 September 2016

PERCAKAPANKU DENGAN KAMBING




“Tertawalah saat orang lain jatuh. Tertawalah saat diri sendiri jatuh. Semua orang memang lucu”
Yosichi Shimada
Ingatkah kita dengan cerita Ibrahim dan Ismail yang terjadi sekian banyak tahun yang lalu yang di banyak tahun setelah membuat manusia, khususnya Islam, memiliki ritual baru yakni berqurban dan tentu jawabannya sekian banyak persen adalah kita masih sangat ingat sebab sekian ustadz selalu mendongengkan cerita itu. Besok pun, prediksiku, bakal banyak penda’i yang kembali mendongengkan itu sebab besok adalah hari Idul Adha atau Idul Qurban. Apakah kita tidak bosan? Ah, mungkin tak semua bakal berani bilang atau berpikir demikian, takut kualat sebab yang diceritakan adalah seorang nabi atau sebab yang menceritakan adalah ustadz atau kyai. Tapi tenang, aku takkan menulis ulang cerita itu, aku akan bercerita hal lain.
Lumayan dulu, guruku berkata “Kasihan Ismail, banyak manusia melihat ritual qurban dari sisi Ibrahim”. Maksudnya, sekian manusia sibuk memuji Ibrahim sebagai manusia yang sangat bertaqwa kepada Tuhannya karena rela menyembelih anaknya sendiri demi menjalankan perintah Tuhan melalui mimpinya. Tidak banyak sekali, atau barangkali nihil, manusia yang melihat ritual qurban dari sisi Ismail dan memikirkan jawaban atas beberapa pertanyaan: Kenapa Ismail yang dipilih sebagai qurban? Apa keistimewaan seorang anak bernama Ismail?
Berawal dari tamparan guru bahasaku itu, aku mulai mencoba melihat ritual qurban tidak dari sudut pandang Ibrahim bahkan tidak pula Ismail tetapi aku melihat, meskipun tanpa sengaja, dari sudut pandang kambing. Ya, saat itu aku di jalan, aku melihat seekor kambing yang dibonceng seorang manusia dan tentu penuh ikatan melilit tubuhnya. Mata kami bertatapan dan saat itulah sekian cerita kudapatkan. Kambing itu tertawa, bahkan sedikit terbahak-bahak. Katanya, manusia itu sangat lucu, mana mau Tuhan menerima qurban sesuatu yang tidak tumbuh dengan kasih sayang. Barangkali manusia ingin menipu Tuhan, semacam ilmu politik. Memanipulasi uang menjadi qurban. Bagaiman perasaan Ibrahim menyembelih anaknya sendiri tentu tak sebanding dengan perasaan pembeli hewan qurban saat melihat hewannya disembelih. Sebagian pengurban malah tersenyum bahkan denga sifat riya’nya. Dan kau tahu, Tuhan Mahatahu.
Aku sangat tertampar oleh sabda Mas Kambing tersebut, aku mencoba memasuki cerita Ibrahim-Ismail. Benar, Ismail tumbuh dengan penuh kasih sayang. Ibrahim sangat mencintainya. Itulah kenapa Ismail diminta jadi qurban, sebab ia adalah yang sangat istimewah. Cerita lain tentang qurban adalah anak Adam, Qabil dan Habil. Dan kita juga ingat, bahwa yang diterima adalah qurban binatang ternak sebab digembala dengan kasih sayang bukan buah-buahan yang tumbuh oleh kasih sayang ibu bumi. Ah sudahlah, kuakhiri saja tulisanku dengan puisi daripada kita safari cerita lebih jauh lagi, dan tentu melelahkan. Semoga ada sekian penda’i bercerita tentang ritual qurban dari sudut yang berbeda lagi, barangkali sudut pandang Tuhan.

MIMPI IBRAHIM

Aku diperintah menyembelihmu, Nak
dan aku bimbang terlalu banyak jika
dalam diriku:

Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
aku sudah menantang-Nya dalam mimpi
untuk bertukar posisi
tapi sayangnya, aku adalah
seorang Nabi.

Dan kau tahu, Nak
kenapa dan apa enakanya menjadi
Nabi
adalah tak seorang pun menyalahkanmu
meski menyembelih anak sendiri.
Mengenai alasannya, aku tak perlu
menjelaskan sebab kau bakal menjadi Nabi
dan mengerti sendiri.

Ah, mengenai mimpi tadi, Nak
lupakan sejenak.
Habiskan kopimu, agar tak marah-
marah ibumu.

Jumat, 09 September 2016

OMONG KOSONG SEKOLAH




“Dia tidak masuk, Pak. Dengar-dengar sih cari sekolah sama bapaknya. Dia dikeluarkan gara-gara kemarin ketahuan berantem”. Kalimat itu membakar diriku. Bagaimana kita sebagai guru praktikan kuat mendengar kalau murid kita dikeluarkan begitu saja. Adam adalah nama murid yang dimaksud. Ia memang sedikit nakal tetapi masih tahu tata karma. Ia masih menghargai guru, menghormati, dsb. Cerita yang kudengar, ia berantem dengan teman sekelasnya dan ia termasalahkan sebab lawannya, teman sekelas yang kumaksud, menangis. Saksi teman sekelas lainnya, yang mencari gara-gara bukanlah Adam. Sebenarnya, aku tak mempermasalahkan siapa yang salah dan benar tetapi bagaimana bisa sekolah dengan mudahnya mengeluarkan anak didiknya.
Seketika itu pula, aku wujudkan amarahku menjadi sebuah puisi sederhana. Bahkan sempat aku tuliskan pada BBM-ku; Pak Presiden Yang Terhormat bolehkah saya meminjam korek untuk membakar sekolah-sekolah di negeri anda. Maksudku negeri kita.” Lalu, inilah puisi yang lahir oleh amarahku:

OMONG KOSONG
:untuk murid sekaligus temanku, Adam

Dam,
jangan kau teteskan
air mata sebab sekolah
mengusirmu:
Memindahmu dengan bisu
tanpa permisi.

Bila perlu,
tertawalah. Dunia ini
penuh lelucon seperti
sekolahmu.
Maksudku sekolah negara
yang mengusirmu.

Kau tahu, Dam
saat sekolah mengusir
siswa. itu artinya sekolah
tak mampu mendidik
dan perlu dipertanyakan;
Masih diperlukankah
sekolah?

Dam, Adam
jangan terus tertawa
sampai lupa meneguk
kopimu;
Agar tak jadi dingin
dan kau tak masuk angin.


Esoknya, Adam terlihat bersekolah lagi dan ternyata ia tak jadi dikeluarkan, masih diberi kesempatan. Ah puisi sudah terlanjur lahir dan tak usah kurahimkan kembali. Bukankah puisi itu seperti bayi yang punya riwayat hidup sendiri. Jika umurnya pendek, ia bakal lekas hilang sendiri dan jika umurnya panjang, siapa yang mampu membunuhnya; melawan takdir Tuhan. Sekian.