Perkenalan saya dengan puisi cukup
biasa. Tidak sempat memberi getar ataupun debar. Bahkan saya tidak sadar, kalau
saya memasuki ruang luas puisi di dalam wilayah literasi. Maklumlah, saya baru
belajar menulis. Seringkali saya dikata “geblek” oleh salah satu kiblat
kepenulisan saya dan “pekok” oleh kiblat kepenulisan saya yang satunya lagi. Keduanya
bermakna “belum cerdas”. Artinya, saya tidak boleh gampang sombong hati dengan
tulisan saya, apalagi enggan mau membaca tulisan orang lain, sungguh bukan itu
yang diajarkan guru-guru saya.
Berikut adalah puisi saya yang
tercantum dalam antologi sayembara puisi pertanian hari ini yang diadakan oleh
Lembaga Pers Mahasiswa Canopy Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Semoga memang
patut dibukukan bersama puisi-puisi lainnya yang memang berbicara prihal
pertanian di masa ini. Silahkan dibaca dan ditafsiri semaunya:
PERCAKAPAN
DI PEMATANG KATA
:
di antara sawah makna
Kita
telah sangat bosan
bersawah
lalu kita impor makanan
sekaligus budaya-budaya
setelah kita impor keyakinan
sekaligus agama-agama.
“Gampang
saja,
kita mesti rajin ibadah
daripada sibuk bersawah-duniawi”
—Jawabmu saat ditanya kenapa.
Kita
telah sangat bosan
bersawah
menanam apa-apa
untuk siapa-siapa
lalu kita menanam uang
pada bank-bank yang menawarkan
bunga-bunga.
“Gampang
saja,
bisa dipanen di mana saja
dan kapan saja”
—Jawabmu saat ditanya kenapa.
Kita
telah sangat bosan
bersawah
sebab kita gagal menerka cuaca-
cuaca seperti nelayan yang berhasil
membaca
bintang-bintang untuk mencari arah
pulang.
“Gampang
saja,
kita Cuma orang awam
bukan ulama ataupun ilmuan”
—Jawabmu saat ditanya kenapa.
Kita
telah sangat bosan
bersawah
menanam kesabaran-
kesabaran, memanen harapan
dan memupuk doa.
“Gampang
saja,
harapan kita ada di bangku kuliah
dengan kesabaran menunggu wisuda”
—Jawabmu saat ditanya kenapa.
Kita
telah sangat bosan
bersawah
merawat alam
meruwat kesehatan
“Gampang
saja,
sehat dipangkal bersih
karenanya aku makan di KFC”
—Jawabmu saat ditanya kenapa.
Ah,
sudahlah. Kau memang mahasiswa
yang penuh kata-kata tetapi
nihil bahasa.
Kau pun sebenarnya paham—
dalam tubuhmu mengalir darah
petani desa— tetapi apa yang sudah kau
tanam selain benih-benih bayi pada
rahim-
rahim perempuan malam minggumu
di Songgoriti?
“Gampang
saja,
Songgoriti adalah tempat
petani-petani muda yang tersesat”
—Jawabmu tanpa ditanya kenapa.
*puisi terlahir di kamar
sederhana pukul 23.10 tertanggal 10 November 2016 dalam keadaan sehat-sehat
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar