Jumat, 25 Mei 2018

KITAB DONGENG SIRMOYO




Di sorga, sedang mendung. Doa rerumputan yang ingin mengobrol dengan hujan terkabul. Adam masih termenung, tapi tapi tapi tanpa murung. Ia telah keluar dari lingkaran segitiga ketuhanannya. Sebesit angan membuatnya mengambil keputusan ini: turun menjadi tubuh serta memasuki dimensi ruang dan waktu. Ia tiba-tiba ada di puncak gunung Himalaya kuno bernama Pawitraan. Kelak, Himalaya dan Pawitraan dipisah demi keseimbangan bumi. Sebagai kunci keseimbangan, Pawitraan akhirnya dikunci empat gunung kecil berpakem mata angin. Semenjak itu, Pawitraan menjadi penanggung gejolak alam bumi.

Adam telah diam bersila selama tujuh kali musim hujan. Adam menjelajah bumi yang ada di dalam dirinya. Di sana, perjalanannya dimulai dari dasar laut yang gelap seperti lorong panjang dan lebar tak berbatas. Di awal perjalanan, ia kerap membuka mata sebab takut tersesat pada lorong gelap. Ia hanya memastikan bisa keluar. Dari nafasnya, ia mengenali lebih detail mana pintu masuk dan keluar yang ternyata hanya dibedakan aksara kuno kembar tetapi beda eja. Atau, pintu itu sebenarnya satu dan aksara tereja beda oleh pikiran yang berbeda. Satu pintu terbaca sebagai Kun. Satunya lagi, atau yang sama tapi beda eja, terbaca sebagai Fayakun.

Adam mengolah nafas menyeimbangkan antara hirup dan hembus. Ia tak sama sekali ingat mana yang lebih dulu dilakukan. Seingatnya hembus. Seyogyanya hirup. Apa yang dihembuskan jika tak berisi hirupan? Tapi tapi tapi Adam teringat samar bahwa memang hembus dulu. Tapi tapi tapi sungguh sulit dinalar. Lalu Adam menyimpulkannya secara manusiawi, sebab ia tak lagi berada dalam lingkaran ketuhanan yang segitiga tadi, bahwa pada saat itu yang terjadi adalah Tuhan menghembus dan menjadi hirupan manusia. Hirup di luar waktu, menjelma hembus di dalam waktu. Dan itu itu itu peristiwa itu itu itu sangatlah cepat terjadi dan selesai. Dan kita ingat kalimat ini kemudian: Ia tiba-tiba ada di puncak gunung Himalaya kuno bernama Pawitraan.

***

Di lingkaran ketuhanan yang segitiga, Amad dan Aamd masih diam. Mereka masih Mahatahu dan tahu kalau Adam tak lagi Mahatahu karena keluar lingkaran. Tapi tapi tapi, ia sudah berpamit terlebih dulu sebelum benar-benar menghembuskan dzatnya yang kekal menjadi hirup yang fanak. Adam kini tak tahu menahu dan ia berusaha mencari pengetahuan. Itulah keputusan Adam yang dipandang Amad dan Aamd sebagai kecerobohan. Aamd bersabda, Adam telah ceroboh membedakan angan dan angin. Amad bersabda, Adam telah tak waspada membedakan angan dan ingin. Adam bersabda, dahulu, ini bukan inginku dan ini adalah inginnya semesta yang ingin kita sambang. Ciptaan mana yang tak ingin bertemu Sang Pencipta sebagai sesama ciptaan?

Pertanyaan itu abadi di lingkaran ketuhanan, sebab lahir saat Adam masih menjadi Tuhan abadi. Kelak, Amad pun memasuki dimensi waktu. Menghembuskan dzatnya menjadi hirup seperti Adam. Keputusan itu diambil bukan sebab ingin sambang ciptaan tetapi ingin membantu Adam yang telah tidak Maha mengembalikan semesta pada yang semula walau tahu Adam telah ceroboh menghembuskan dzatnya menjadi hirup yang lain saat berhasil melewati lorong gelap kesemestaan diri dan bertemu dirinya yang masih Tuhan bertahta di kerajaan diri. Kelak, Aamd memuji Amad sebagai Yang Terpuji karena keputusan mulianya. Aamd sendiri tidak pernah menghembuskan dzatnya seperti Adam dan Amad, ia memilih masuk pada setiap diri manusia dan membantu sisa-sisa dzat ketuhanan Yang Diam, bersabda menuntun manusia pulang pada ketiadaan.

Aamd hanya bersambang pada ciptaanya dan muncul sebentar di Turisina dengan dzatnya yang hampir melebur semesta dengan silau cahaya ilahianya. Syahdan, seorang manusia yang menyadari tugas hidupnya sebagai salah satu nabi, hampir buta menyaksikan peristiwa itu di Turisina. Indra kemanusiaannya tak sanggup membaca sekelebat cahaya ketuhanan. Kelak, Amad mengajarkan manusia bahwa seharusnya manusia menemui Tuhan, bukan memanggil Tuhan menemui manusia agar semesta yang fanak tak rusak. Bahwa Tuhan tak jauh dari diri tapi tapi tapi tak juga dekat. Tuhan ada di luar jarak. Bahwa Tuhan tidak lebih tua dari manusia, tapi tapi tapi tak juga lebih muda. Tuhan di luar waktu. Di mana itu? Setiap kali ditanya itu, Amad menjawab “di sini”.

***

Adam berhasil menjelajah semesta kediriannya. Ia bertemu dzat ketuhanannya di dalam diri. Di sebuah ruang tengah yang dalam yang diselimuti banyak rasa; takut, ingin, marah, senang, sedih, putus asa, hampa, dan sebagainya. Dzat Adam, Yang Diam, bertahta di sana. Lalu, tiba-tiba muncul suara-suara bergaya puitis sebait-sebait. Adam sedikit samar mengenal suara tanpa bunyi tanpa nada tapa irama tanpa ritem itu milik Aamd. Sejak itu, Adam menamai tempat itu sebagai Bait Aamd [hampir lupa dijelaskan bahwa manusia tidak bisa mengeja Aamd dan selalu saja terucap Aala. Maka, Bait Aamd tereja sebagai Bait Aala].


(sumber gambar: bioenergi.co.id)


Setelah lama berdiam dan menerjemah bait-bait di Bait Aamd, Adam mampu menjadi Tuhan dan bisa kembali masuk lingkaran dan meninggalkan tubuh manusianya di puncak Pawitraan, tapi tapi tapi Adam kembali ke lingkaran hanya sebentar saja, sangat sangat sangat sebentar, hanya satu hembusan. Adam kembali menghembus pada waktu dan menjadi hirup manusia lain yang kemudian dinamai Haua. Tiba-tiba Adam tersadar dari diamnya dan mendapati bagian Adam yang lain di dekatnya bernama Haua. Nama itu sebenarnya muncul dari kekagetan Adam dan berkata “Haua” saat menyaksikan dirinya menjadi dua.

Kesadaran akan ketuhanan yang sedikit pada Haua menjadikannya tak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Sederet pertanyaan muncul: siapa aku, kenapa aku di sini, untuk apa aku ada, siapa dia (Adam), kenapa dia ada juga di sini, untuk apa dia ada bersamaku?. Aadm memberikan sebait peringatan pada Adam, dan suara ini sangat lirih sebab Adam sedang tersadar di Pawitraan bukan di Bait Aamd. Jika di Bait Aamd, walau tanpa bunyi pun akan tertangkap jelas bait-baitnya tapi tapi tapi ini memang sulit dinalar. Sebait dari Aamd tereja: jangan dekati pohon [Haua] itu atau dzatmu akan bercecer menjadi banyak manusia dan kau akan kualahan menjemput masing-masing darinya sebab tugas hidup manusia yang tercipta adalah menjemput rasa yang menjelma manusia lalu mengajaknya pulang pada ketiadaan.

Adam tak yakin suara itu benar dari Aamd. Ia mendekati Haua. Tapi tapi tapi Haua ketakutan dan berlari tak karuan hingga terpeleset dan terjatuh pada sungai kecil aliran sumber yang membawa Haua menuju air terjun dan terbawa arus entah ke mana. Adam tak berhasil memegang tangan Haua yang terseret arus sungai deras. Adam termenung: Hilang ke mana rasaku? Harus kujemput ke mana ia lalu? Harus jalan ke mana aku lebih dulu?

Adam kembali mengatur napas dan bersila memasuki diri menuju Bait Aamd. Di sana ia bertaubat: mengakui kecerobohannya tak mempercayai pendengaran hatinya tentang sebait peringatan. Lalu ia kini lebih hati-hati mendengar dan waspada menafsir bait-bait yang berdatangan. Sebait lagi turun: maka keluarlah dari sorga dan mencari rasamu itu, jemput ia pulang pada dirimu sebagai asalnya, lalu pulanglah pada kami [Aamd dan Amad] sebagai asalmu karena sejatimu adalah kami dan kami adalah kamu.

Akhirnya, Adam turun dari sorga (sebutannya pada puncak Pawitraan) untuk menjemput Haua. Ia menuruni gunung penanggung segala gunung itu dengan hati sedih. Di sepanjang jalan, ia terhibur, sebab diajari banyak nama-nama oleh Yang Diam di dalam dirinya sendiri: oh ini namanya rumput yang berdoa hujan dulu, oh ini namanya batu yang berdoa diam sepanjang waktu, oh ini namanya kelapa yang berdoa dengan tarian angin, oh ini namanya rindu. Aku rindu pada Haua, diriku yang lain itu.

[[bersambung…]]

***


Separagraf Catatan:
Dongeng ini digubah sebagai zakat tulisan dengan keyakinan bahwa segalanya memiliki zakat dan atas kesadaran terlahir sebagai manusia yang diperintah membaca. Bukankah pembaca wajib berzakat tulisan seperti wajibnya pendengar berzakat ucapan? Maka, jika zakat ini dirasa kurang layak atau pantas bagai para penerima zakat, mohon berlapang memafkan dan lekas memaklumi. Jika panjang umur, dongeng ini bakal diteruskan segera. Jika tidak sabar, kalian bisa mencari di dalam masing-masing diri tapi tentu berbeda bahasa dan mungkin versi. Karena dongeng ini bersaripati beberapa kitab, salah satunya dipakai judul di atas: Sirmoyo. Kitab ini tidak akan ditemui secara aksara karena memang tidak boleh (patut) dituliskan. Sirmoyo dari dua kata, Sir yang berarti rahasia dan Moyo berarti samar. Artinya, memang kitab ini adalah kitab yang berisi kerahasisan yang samar. Adanya, hanya di dalam diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar