Jumat, 14 Juni 2019

Sekolah: Produk Proxy Terlaris




“Sekolah peninggalan kompeni, hanya akan melahirkan ijazah untuk menjadi buruh.”
—Suwardi Suryaningrat

Peringatan penting Suwardi atau yang lebih dikenal bernama Ki Hajar Dewantara (KHD), tidak terbaca penting. Barangkali, gema suaranya sama sekali tak terdengar keras dan melengking. Riwayat gagasan KHD seolah berhenti di baju seragam; tut wuri handayani. Riwayat perjuangan di jalur pendidikannya pun seolah berhenti oleh gelar pahlawan dan berjuluk Bapak Pendidikan Nasional. Selesai. Tak ada lagi yang bisa dibicarakan lebih luas. Atau kita masih beruntung, memiliki ingatan yang barangkali disusul imaji bahwa di bulan Juli tahun 1913, negeri ini dikagetkan dengan tulisan dalam harian De Express dengan judul “Als ik eens Nederlander was…” yang artinya “Seandainya saya orang Belanda…” Dan tentu, tulisan KHD sebagai protes serius pada kolonial yang mengajakpaksa pribumi merayakan peringatan kemerdekaan Belanda dari Prancis.

Dampak dari tak terbacanya gagasan KHD dengan lengkap dan cermat, melahirkan mindset bahwa bersekolah itu penting. Sekolah sebagai politik etis Belanda memang memiliki doktrin; siapa bisa lulus sekolah, bakal diberi pekerjaan. Perbandingan lulusan sekolah dan tidak, bisa dibaca di buku Ubah Takdir Lewat Baca dan Tulis Buku (2011) garapan Suparto Brata. Buku berkisah perbandingan upah atau gaji bagi siapa yang bekerja tanpa bisa baca-tulis, tentu dalam huruf latin, dan yang tidak bisa baca-tulis sebab tak bersekolah. Upah bagi yang bisa baca-tulis berlipat-lipat lebih besar dan lebih “nyaman” tidak berjibaku dengan pacul, palu, linggis, dan sebagainya, melainkan memegang pena.

Snouck Hugronje (sumber:wikipedia)

Dan mindset semacam itu, tak lain jebakan Snouck Hurgronje sebagai pakar proxy untuk mengganti konsep perang simetris menjadi asimetris. Perang tak lagi berdarah-darah tapi racun-racun yang diberikan di bangku sekolah seolah menyatu dengan sel-sel darah. Dan tentu, rawan mendarahdaging. Alhasil, orang tua yang tak pernah kuliah bisa dengan yakin berkata pada anaknya bahwa kuliah itu sangat penting untuk masa depan(anak)nya. Pesantren tanpa sekolah menjadi sepi santri. Orang tua tak mau beresiko menitipkan nasib anaknya di pesantren “tradisional”. Beberapa pesantren mendadak tutup, terlepas dari kegagalan mendapat santri atau memang sengaja ditutup sebab sadar kehadiran modernitas yang didukung Pemeritah Orde Baru bahwa semua anak wajib sekolah 9 tahun. Sehingga ijazah diniyah terabaikan baik untuk melamar pekerjaan di pemerintahan maupun perusahaan swasta.

Sekolah dalam Buku
Sekolah ala pemerintah tentu berbeda dengan Sokola yang digagas Butet Manurung. Sokola tidak diadakan sebagai produk proxy entah pengaburan sejarah atau penanaman doktrin-doktrin yang beracun. Salah satu tujuan Butet, selain pemerataan pendidikan, adalah membebaskan Suku Anak Dalam dari hitungan yang palsu di mana mereka menjual kayu atau pun hasil dalam hutan ke orang luar tanpa hitungan yang benar. Dan selalu saja dibodohi dan dirugikan. Kisah diceritakan apik dalam novel yang berangkat dari cacatan harian Butet dengan judul Sokola Rimba (2013).

Dengan hadirnya sekolah, sejarah lebih mudah dirubah. Sebab sekolah seolah mengajarkan kebenaran. Dan kekuasan Orde Baru yang mencapai 32 tahun, tentu menikmati sekolah sebagai produk proxy yang istimewah. Program-program seperti wajib sekolah dan jargon pembangunan disusupkan pada naskah cerita buku-buku sekolah. Akhirnya, kita tak heran membaca buku-buku sekolah terbitan Pemerintah Orde Baru memiliki intimitas dengan kata “pembangunan” dan “wajib sekolah”. Di tahun 2014, Bilik Literasi atau rumah joglo milik kritikus sastra Bandung Mawardi mengadakan obrolan tentang buku anak dalam acara Tiga Hari Berhuruf. Peserta disuguhi buku-buku lawas yang didominasi terbitan masa Orde Baru. Menariknya, satu buku memaksakan kata “sekolah” masuk dalam cerita pewayangan. Alhasil, dalam sebuah cerita, Arjuna dikisahkan bersekolah pada Resi Durna. Dan sebab sekolah itulah, Arjuna bisa menjadi sakti. Wah!

Buku apik tentang sekolah pada masa Orde Baru bisa kita temui dengan judul Totto Chan (1981) garapan Tetsuko Kuroyanagi. Tentu saja bukan buku Indonesia melainkan Jepang. Buku dengan judul asli Madogiwa no Totto-Chan tersebut baru masuk Indoneisa tahun 2008 dan diterbitkan Penerbit Gramedia dengan judul Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela. Novel ditulis berdasarkan kisah nyata tentan seorang tokoh kecil bernama Totto Chan yang dikeluarkan dari sekolah “formal”. Seorang anak kecil yang suka menggambar di kertas sampai tak ada ruang kosong dalam kertas tersebut sehingga merembet pada meja, harus dikeluarkan dari sekolah. Di sekolah baru Totto Chan menghadap Kepala Sekolah dan disuruh bercerita tentang apa yang ia sukai. Selama empat jam penuh kepala sekolah mendengarkan cerita sambil tertawa, mengangguk kepala, dan berkata “lalu” setiap Totto Chan berhenti cerita. Di sekolah dari gerbong kereta itu, murid yang memang hanya sedikit dibebaskan belajar apa saban harinya. Dan murid yang sedikit itu kelak jadi penyair, dokter, tentara, pengusaha, dan Totto Chan sendiri menjadi penulis dengan pelbagai penghargaan juga mendirikan teater professional pertama di Jepang untuk tunarungu.

Buku apik lainnya berjudul Saga no Gabai Bachan dan tentu masih seputar Jepang. Novel garapan Yoshichi Shimada yang diterbitkan dalam bahasa Indoensia oleh Penerbit Kansha Book tahun 2011 ini berkisah tentang tokoh Akihiro dan neneknya. Di mana kesulitan atau masalah yang dihadapi Akihiro di sekolahnya bisa diatasi neneknya. Misal saja, nilai jelek Akihiro pada sebuah bahasa Jepang tertentu. Neneknya dengan santai berkata “Ya tidak apa-apa kan kita tidak pakai bahasa itu.” Akihiro adalah korban bom Hiroshima dan ia harus dititipkan dengan neneknya, Aosi. Oleh alasan itu, Nenek Aosi tak ingin sama sekali Akihiro menanggung kesedihan lainnya. Jika tak berlebihan, novel ini berkisah sekolah sebagai pemberi masalah dan Nenek Aosi sebagai pemberi solusinya. Pesan kontroversi Nenek Aosi pada Akihiro adalah “Jangan sering-sering belajar, nanti jadi kebiasaan”. Nenek yang bijak. Duh!

Proxy dalam Pramistara
            Dalam Pramistara (Pesantren Ramadhan Islam Nusantara) yang ke-5, sekolah sebagai produk proxy kolonial dijelaskan lebih mendetail oleh K.Ng.H. Agus Sunyoto. Acara yang berlangsung selama 4 hari, 5-8 Mei 2019, diikuti oleh 40 santri yang diseleksi dari pelbagai pendaftar. Materi disampaikan dengan begitu luwes dari sejarah sampai perkembangannya terkini. Bagaimana jaringan kaki tangan kolonial dan kapitalisme global kemudian bergerak menduduki kursi pemerintahan. Kita kemudian membaca sejarah; Semasa Orde Baru perusahaan swasta bebas hutang luar negeri dan terjamin pemerintah, rupiah anjlok sedangkan dolar melonjak, Indonesia membuka hutang pada IMF, Freeport digerus dengan nama kontrak tembaga bukan emas, perusahaan luar bebas menanam modal di Indonesia, dsb dll dst. Jaringan sudah ditata sedemikian rupa dengan pelbagai skenario sulit diambrukkan. Gus Dur yang mencoba mengambrukkan pun justru diambrukkan. Dilengserkan dari kursi kepresidenan.

            Dalam Pramistara V, Romo Agus memperkenalkan nama-nama tokoh produk sekolah yang sebenarnya tidak asing dalam khazanah sejarah. Menjadi mengejutkan karena ada pemilahan tokoh yang benar-benar berjasa untuk Indonesia dan tokoh yang sebenarnya kaki tangan kolonial dan kapitalisme global. Beberapa nama disampaikan; H. Agus Salim, Soemitro, Sultan Syahrir Alisyahbana, Sjahrir, Amir Syaifuddin, Dr. Rajiman Wedyodiningrat, Sema’un, Darsono, dan Soeharto, dikenalkan sebagai tokoh kaki tangan kolonial dan kapitalisme global. Bahkan H. Agus Salim (HAS) adalah intel jaringan mereka. Pernyataan tentu tidak ngawur. Data HAS sebagai intelijen ditemukan di catatan Snouck H dan buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984).

            Selain sekolah sebagai produk proxy, ada pula beberapa naskah yang patut dihindari atau dibaca dengan segala kesadaran bahwa naskah itu sebuah karya proxy. Ada Serat Darmogandul yang ditulis Ki Tunggulwulung, misionaris Kristen, untuk melemahkan Islam. Hampir secara keseluruhan berisi tentang pandangan negatif akan Islam. Salah satu kisah di dalamnya menceritakan tentang percakapan Brawijaya V yang baru memeluk Islam dengan pamomongnya yang bernama Sabda Palon dan Naya Genggong. Percakapan membahas detail tentang islam dan subtansinya. Sampai pada akhirnya, Brawijaya V menyesal telah masuk Islam. Naskah proxy lainnya, Suluk Gatoloco yang berkisah percakapan santri bernama Gatoloco dengan seorang ulama besar bernama Kiai Hasan Besari. Dalam suluk ini, terjadi perdebatan tentang islam dan kesejatian dan Kiai Hasan kalah. Naskah yang tak kalah seru dimengerti sebagai produk proxy adalah Kidung Sunda yang andil memecah Jawa-Sunda dengan dendam atas Perang Bubat yang lebih dikisahkan sebagai pembantaian keluarga kerajaan Sunda oleh Gajah Mada.

Akhirnya
            Bung Karno yang membaca pergerakan atau perubahan konsep perang pun dengan lantang mewariskan pesan serius: Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri. Dan kita, benar-benar sedang melawan saudara sebangsa kita sendiri untuk mempertahankan identitas bangsa kita dari agenda kapitalisme global; menghapus segala lokalitas sebagai identitas bangsa. Dan mereka (jaringan kapitalisme global) barangkali membaca buku Architects of Deception: The Concealed History of Freemansonry (2004) garapan Juri Lina. Di dalamnya dipaparkan cara melemahkan bangsa: (1) kaburkan sejarahnya, (2) hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya, dan (3) putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakana bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif. Dan ketiganya benar dialami Nusantara kita.

Pesan Bung Karno secara implisit mengabarkan adanya pergeseran dari perang simteris menuju asimetris. Selain dari pesan Bung Karno, adanya penjajahan tak langsung bisa terbaca pula dalam buku berjudul Jejak Pangan: Sejarah Silang Budaya dan Masa Depan (2009) garapan Andreas Maryoto. Ia menuliskan sebuah kegelisahan akan fakta agraria bahwa petani-petani yang dulunya membuat Ratu Belanda kaya raya, kini tetap miskin setelah merdeka. Barangkali sampai saat ini, tujuh puluh empat tahun pasca proklamasi, petani-petani tetap miskin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar